Selasa, 17 Januari 2012

Pura Gunung Kawi Tampak Siring.

Pura Gunung Kawi Tampaksiring
Dalam Prasasti Tengkulak A tahun 945 saka di kelurkan oleh Raja Marakata kompleks peninggalan purbakala yang terletak di sungae Pekerisan tersebut bernama Katyagan Amarawati.
Gunung Kawi mulai di dirikan pada abad ke-10 M pendirianya di mulai pada jaman Udayana sekitar 989 M, pada masa pemerintahan Marakata sekitar tahun 1023 M peninggalan tersebut bernama "KATYAGAN AMARAWATI" dan kemudian pembangunannya di lanjutkan pada pemerintahan anak wungsu yang di duga memerintah antara tahun 1049-1077 M. Pura ini terletak di Daerah Tampaksiring dan tidak jauh dari Istana Tampaksiring, Daerah situs purbakala gunung kawi sangat luas dibagi menjadi dua dan dipisah oleh Sungai Pakerisan, sejak di temukan pada tahun 1920, peninggalan ini terus di jaga dan diperhatikan, disana terdapat dua tebing, terdapat lima candi di tebing sebelah timur dan empat candi di tebing sebelah barat dan juga tempat bermeditasi. Di pojok tenggaranya juga di temukan beberapa lobang tempat meditasi, candi yang di tebing sebelah barat dikenal dengan nama Makam X dan di pintu depannya deitemukan tulisan dengan hurup Kediri. Seperti yang di sebutkan Pura Gunung Kawi di bangun oleh Raja Marakatapangkaja dan diselesaikan oleh Raja Anak Wungsu. Tebing tebing lain yang diteukan berrelief candi di luar area Gunung Kawi adalah di Kerobokan, Tegallinggah, dan Jukut Paku ( Singakerta, Ubud ). Gunung Kawi juga terbuka untuk Wisatawan.
Setelah melewati Gapura dan 315 anak tangga di pinggir sungai Pakerisan yaitu sebuah sungai yang mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi, terletak komplek candi Gunung Kawi. Obyek wisata ini termasuk wilayah Tampaksiring 40 km dari Denpasar. Mengenai nama Gunung Kawi ini belum diketahui dengan pasti asal mulanya. Namun secara etimologi dikatakan berasal dari kata Gunung dan Kawi, yang berarti gunung adalah daerah pegunungan dan Kawi berarti pahatan. Jadi maksudnya ialah pahatan yang terdapat di pegunungan atau di padas karang. Menurut sejarahnya diantara raja – raja yang memerintah di Bali yang paling terkenal adalah Dinasti Warmadewa. Raja Udayana adalah merupakan dinasti ini dan beliau adalah anak dari Ratu Campa yang diangkat anak oleh Warmadewa. Setelah dewasa Udayana nikah dengan Putri Jawa yang bernama Gunapriya Dharma Patni. Dari perkawinannya ini menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu. Akhirnya setelah Erlangga wafat tahun 1041, kerajaanya di Jawa Timur dibagi Dua. Pendeta Budha yang bernama Empu Baradah dikirim ke Bali agar pulau Bali diberikan kepada salah satu Putra Erlangga, tetapi ditolak oleh Empu Kuturan. Selanjutnya Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu antara tahun 1029 – 1077 dan dibawah perintahnya Bali merupakan daerah yang sangat subur dan tentram. Setelah beliau meninggal dunia abunya disimpan dalam satu candi di komplek Candi Gunung Kawi. Tulisannya yang terdapat diatas pintu semu yang berbunyi : Haji Lumah Ing Jalu yang berarti Sang Raja dimakamkan di Jalu sama dengan Susuh dari (ayam jantan) yang bentuknya sama dengan Kris maka perkataan Ing Jalu dapat ditafsirkan sebagai petunjuk Kali Kris atau Pakerisan. Raja yang dimakamkan di jalu dimaksud adalah Raja Udayana. Sedangkan tulisan Rwa Anakira yang berarti Dua Anaknya kemungkinan yang dimaksud makam Raja Udayana, Anak Wungsu dan Empat orang Permaisuri Raja serta Perdana Mentri Raja. Diseberang Tenggara atau dari komplek candi ini terletak Wihara (tempat tinggal atau asrama para biksu/pendeta Budha). Peninggalan candi dan wihara di Gunung Kawi ini diperkirakan pada abad 11 Masehi. Sementara di Candi Gunung Kawi, setelah menuruni anak tangga sepanjang 400 m, nikmati eksotisnya bangunan candi yang dipahat pada dinding cadas.Ukiran pahatan yang besar ini terlihat menakjubkan ketika diamati dari jarak beberapa meter. Candi yang dipercaya sebagai tempat menyimpan abu jenazah beberapa raja Bali ini memiliki legenda berkaitan dengan pembuatannya, yaitu dibuat sehari semalam oleh Kebo Iwa dengan menatahkan kuku tangannya yang sakti pada dinding cadas tersebut. Kebo Iwa sendiri adalah tokoh legenda rakyat Bali yang digambarkan sebagai orang bertubuh sangat besar dengan kekuatan dan kesaktiannya yang dipergunakan untuk membela Bali dari serangan musuh. Tiket masuk rata-rata adalah Rp. 6.000,- untuk dewasa dan Rp. 3.000,- untuk anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar